Kamis, 07 Agustus 2008

AGAR NIKMAT MEMBACA AL-QURAN

Tatkala unsur jasad, akal, dan kalbu merasakan nikmatnya bimbingan Alquran, otomatis keseharian kita tidak mau terlepas dari Alquran. Bagi seorang Muslim, Alquran bagaikan cahaya di tengah kegelapan malam.
Bagi seorang Muslim, Alquran bagaikan cahaya di tengah kegelapan malam. Ia menjadi petunjuk yang senantiasa dinantikan kedatangannya. Karena itu, merugilah orang yang tidak mengenal Alquran dan sangat merugi orang yang tidak mau mengenal Alquran, padahal ia mengetahui kebenaran dan keagungannya.

Sebaliknya, beruntung orang yang kenal dengan Alquran dan berusaha menjaga hubungannya tersebut agar tetap langgeng. Betapa tidak, kebahagiaan, ketenangan dan kedamaian hidup akan senantiasa mengikutinya ke mana pun ia pergi. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Kepada kaum yang suka berjamaah di masjid-masjid, mengajarkan Alquran secara bergiliran dan mengajarkannya terhadap sesama, akan turunlah kepadanya ketenangan dan ketenteraman, akan terlimpah kepadanya rahmat dan mereka pun akan dijaga oleh malaikat, juga Allah akan senantiasa mengingat mereka”.
Di akhirat pun mereka akan dimuliakan bersama para utusan Allah. Disabdakan, “Orang yang gemar membaca Alquran, lagi pula ia mahir, kelak akan mendapat tempat dalam surga bersama dengan rasul-rasul yang mulia lagi baik; dan orang yang membaca Alquran, namun tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan berat lidahnya (belum lancar), maka ia akan mendapatkan dua pahala” (HR Bukhari Muslim dari 'Aisyah RA)
Tak heran jika Rasulullah SAW “menganjurkan” kita untuk “iri” kepada orang yang hidupnya selalu berinteraksi dengan Alquran. Beliau bersabda, “Ada dua golongan manusia yang sungguh-sungguh orang iri kepadanya, yaitu orang yang diberi oleh Allah kitab suci Alquran ini, dan dibacanya siang malam; dan orang yang dianugerahi kekayaan harta, siang dan malam kekayaan itu digunakannya untuk segala sesuatu yang diridhai Allah” (HR Bukhari Muslim).
Tatkala kita membaca Alquran dengan kesungguhan, maka saat itulah kita “terhubung” dengan Allah. Karena Alquran adalah tali Allah yang terjulur dari langit ke bumi. Jika membaca saja sudah demikian mulia, apa lagi menghapal, mentadaburi maknanya, serta mengamalkannya isinya dalam kehidupan sehari-hari.
Itulah sebabnya para sahabat menjadikan Alquran sebagai kecintaan. Mereka berlomba-lomba membaca, mempelajari dan mengamalkan kandungan Alquran. Dalam hal membaca misalnya, ada yang meng-khatamkan Alquran dalam sehari semalam, bahkan ada yang khatam dua kali dalam sehari semalam. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah SAW menyuruh Abdullah bin Umar agar mengkhatamkan Alquran seminggu sekali. Begitu pula para sahabat seperti Usman bin 'Affan, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud dan Ubay bin Ka'ab, telah menjadi wiridnya untuk mengkhatamkan Alquran pada setiap hari Jumat.
Bagaimana agar kita senantiasa rindu, merasa tidak enak jika sehari saja tidak berinteraksi dengan Alquran? Dengan kata lain, bagaimana kita bisa istiqamah berinteraksi dengan Alquran?
Pertama, kita harus memasuki sebuah lingkungan yang di dalamnya terdapat budaya saling mengingatkan, saling menasihati, saling memberikan masukan dalam membaca dan menelaah Alquran. Ketika kita memasuki lingkungan yang di dalamnya saling nasihat-menasihati, saling memantau, maka semangat kita untuk berinteraksi dengan Alquran akan senantiasa terjaga.
Kedua, libatkanlah unsur fisik, akal, dan hati. Alquran adalah pembimbing bagi jasad, akal, dan qalbu. Karena itu, saat kita membaca Alquran, qalbu senantiasa menyakini bahwa yang saya baca adalah firman Dzat Yang Mahatinggi. Akal senantiasa bekerja untuk menghubungan apa yang kita baca dengan perilaku keseharian. Jasad pun diupayakan langsung bereaksi dengan mengaplikasikan apa yang dibaca dalam kehidupan.
Ketiga, bila kita belum mampu memahami kalimat-kalimat dalam Alquran, paling tidak kita harus menanamkan keyakinan dalam diri bahwa apa yang kita baca ini mengandung perintah dan larangan. Sejauh mana kita melaksanakan perintahnya tersebut, serta sejauh mana kita menjauhi larangannya. Kita pun bisa merenungkan peringatan-peringatan yang ada dalam Alquran lalu menghubungkannya dengan aneka macam godaan di dunia. Alquran juga mengandung kabar gembira berupa kenikmatan yang abadi. Kita bisa menghubungkannya dengan kenikmatan-kenikmatan hidup yang ada sekarang ini, sehingga kita tidak tergiur dengan kenikmatan sesaat di dunia, dan melupakan kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.
Inilah adalah salah satu jalan agar kita bisa menjiwai Alquran. Sekiranya belum tercapai, maka yakinilah bahwa kita sedang terkena musibah besar. Jika kita merasa terkena musibah besar, maka kita akan berusaha keluar dari musibah tersebut. Bukankah manusia itu senang hidup bahagia dan takut sengsara dan bencana?

Sumber :
Republika (Jumat, 08 Juni 2007).

selengkapnya......

METODE SALAF DALAM MENERIMA ILMU Oleh :Syaikh Abdul Adhim Badawi

"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]

Dari fenomena yang tampak pada saat ini, (kita menyaksikan) khutbah-khutbah,
nasehat-nasehat, pelajaran-pelajaran banyak sekali, melebihi pada zaman para
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in (orang-orang yang berguru
kepada para sahabat) serta tabiut tabiin (orang-orang yang berguru kepada
tabi'in). Namun bersamaan itu pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita
mendengarkan (perintah Allah dan RasulNya) namun, sering juga kita tidak melihat
ketaatan, dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak
mengamalkan.
Inilah perbedaan antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tabiin dan tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada masa yang mulia.
Sungguh pada masa mereka nasehat-nasehat, khutbah-khutbah dan
pelajaran-pelajaran sedikit, hingga berkata salah seorang sahabat.
"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala memberikan
nasehat mencari keadaan dimana kita giat, lantaran khawatir kita bosan"
[Muttafaqun Alaihi]
Di zaman para sahabat dahulu sedikit perkataan tetapi banyak perbuatan, mereka
mengetahui bahwa apa yang mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam wajib diamalkan, sebagaimana keadaan tentara yang wajib melaksanakan
komando atasannya di medan pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan
serta kehinaanlah yang akan dialami.
Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu Allah
'Azza wa Jalla dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan sikap mendengar, taat serta cepat mengamalkan. Tidaklah mereka terlambat
sedikitpun dalam mengamalkan perintah dan larangan yang mereka dengar, dan juga
tidak terlambat mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Inilah contoh yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tatkala mendapatkan wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla. Para ahli
tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini
(dengan berbagai macam sebab) , saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab
turunnya ayat itu :
Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menginginkan untuk menghancurkan adanya perbedaan-perbedaan tingkatan (kasta) di
antara manusia, dan melenyapkan penghalang antara fuqara (orang-orang fakir) dan
orang-orang kaya. Dan juga antara orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak
dan bukan pula keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan nikmat Allah
'Azza wa Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi budak.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada manusia bahwa
mereka semua seperti gigi yang tersusun, tidak ada keutamaan bagi orang Arab
terhadap selain orang Arab, dan tidak ada keutamaan atas orang yang berkulit
putih terhadap yang berkulit hitam kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara
mereka). Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla.
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [Al-Hujurat : 13]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia mabda'
(pondasi) ini. Dan barangkali, dalam keadaan seperti ini, perkataan sedikit
faedah dan pengaruhnya, yang demikian itu disebabkan karena fitrah manusia ingin
menonjol dan cinta popularitas. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berpendapat untuk menanamkan pondasi ini dalam jiwa-jiwa manusia dalam bentuk
amal perbuatan (yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wujudkan) dalam
lingkungan keluarga serta kerabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini
dikarenakan amal perbuatan lebih banyak memberi kesan dan pengaruh yang mendalam
dalam hati manusia, dari hanya sekedar berbicara semata.
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kepada Zainab binti Jahsiy
anak perempuan bibi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (kakek Zainab dan kakek
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama yaitu Abdul Mutthalib seorang
tokoh Quraisy) untuk meminangnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin
mengawinkannya dengan budak beliau Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat
Allah menjadi orang merdeka (lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala
beliau menyebutkan bahwa beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab
binti jahsiy, berkatalah Zainab binti Jahsiy : "Saya tidak mau menikah
dengannya". Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Engkau
harus menikah dengannya". Dijawab oleh Zainab : "Tidak, demi Allah, selamanya
saya tidak akan menikahinya".
Ketika berlangsung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, Zainab mendebat dan membantah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,
kemudian turunlah wahyu yang memutuskan perkara itu :
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut
kepada Zainab, maka berkatalah Zainab : "Ya Rasulullah ! apakah engkau ridha ia
menjadi suamiku ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya",
maka Zainab berkata : "Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan
RasulNya, lalu akupun menikah dengan Zaid".
Demikianlah Zainab binti Jahsiy menyetujui perintah Allah dan RasulNya, dan
hanyalah keadaannya tidak setuju pada awal kalinya, lantaran Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah menawarkan dan bermusyawarah dengannya.
Maka tatkala turun wahyu, perkaranya bukan hanya perkara nikah atau meminang,
setuju atau tidak setuju, tetapi (setelah turunnya wahyu), perkaranya berubah
menjadi ketaatan atau bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.
Tidak ada jalan lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha (semoga
Allah meridhainya), melainkan harus mendengar dan taat kepada Allah dan
RasulNya, dan kalau tidak taat maka berarti telah durhaka kepada Allah dan
RasulNya, sedangkan Allah berfirman.
"Artinya : Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia
telah sesat, sesat yang nyata" [Al-Ahzab : 36]
Demikianlah , sikap para sahabat Nabi dahulu tatkala menerima wahyu dari Allah
'Azza wa Jalla, adapun kita (berbeda sekali), tiap pagi dan petang telinga kita
mendengarkan perintah-perintah serta larangan-larangan Allah dan RasulNya, akan
tetapi seolah-olah kita tidak mendengarkannya sedikitpun. Dan Allah Jalla
Jalaluhu telah menerangkan bahwa manusia yang paling celaka adalah manusia yang
tidak dapat mengambil manfaat suatu nasehat, Allah berfirman.
"Artinya : Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu
bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang
yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang
besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup"
[Al-A'la : 9-13]
Dan Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang munafik tatkala mereka hadir
dalam majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka hadir dengan hati
yang lalai.
"Artinya : Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu
kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah
seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang
keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka
waspadalah terhadap mereka ; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah
mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?" [Al-Munafiqun : 4]
Lalu tatkala bubar dari majelis, mereka tidak memahami sedikitpun, Allah
berfirman.
"Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga
apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang lebih diberi
ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi) : 'Apakah yang dikatakan tadi ?' Mereka
itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa
nafsu mereka" [Muhammad : 16]
Takutlah terhadap diri-diri kalian ! (wahai hamba Allah), dari keadaan yang
terjadi pada orang-orang munafik, berusaha dan bersemangatlah untuk bersikap
sebagaimana para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketahuilah !
sebagaimana Allah 'Azza wa Jalla telah mencela orang-orang yang berpaling dan
lalai, sungguh Allah 'Azza wa Jalla memuji orang-orang yang mendengarkan
perkataan lalu memahami seperti yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla, lalu
mengamalkannya, Allah 'Azza wa Jalla berfirman.
"Artinya : Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal" [Az-Zumar : 17-18]
Ketahuilah wahai hamba Allah yang muslim, bahwa tidak ada pilihan bagi kalian
terhadap perintah Allah yang diperintahkan kepadamu ! tidak ada lagi pilihan
bagimu ! baik engkau kerjakan ataupun tidak.
Tidak ada lagi pilihan bagimu terhadap larangan Allah 'Azza wa Jalla yang engkau
dilarang darinya ! baik engkau tinggalkan ataupun tidak ! Engkau dan apa yang
engkau miliki semuanya adalah milik Allah 'Azza wa Jalla engkau hamba Allah, dan
Allah 'Azza wa Jalla adalah tuanmu. Bagi seorang hamba, hendaknya mencamkan
dalam dirinya untuk mendengar dan taat kepada perintah tuannya, sekalipun
perintah itu nampak berat atas dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan
mendapatkan murka dari majikannya.
Dan Allah 'Azza wa Jalla telah meniadakan keimanan dari orang-orang yang tidak
ridha dengan hukumNya dan tidak tunduk kepada RasulNya dan perintah RasulNya,
Allah berfirman.
"Artinya : Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nayata" [Al-Ahzab : 36]
Sesudah itu, hendaklah anda (wahai para pembaca yang mulia) bersama dengan saya
memperhatikan perbandingan ini :
Kita tadi telah mengatakan : Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pergi ke Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha untuk meminangnya bagi Zaid bi
Haritsah. Awalnya Zainab menolak, karena pinangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam hanya bersifat menolong semata, (bukan perintah). Maka tatkala turun
ayat, berubahlah perkaranya menjadi perintah untuk taat (kepada Allah dan
RasulNya).
Tidak ada keleluasaan bagi zainab binti Jahsiy sesudah turunnya ayat itu,
kecuali (harus) mendengar dan taat. Dan kalaulah perkaranya hanya menolong
semata, tentu Zainab binti Jahsiy berhak menolak (jika tidak setuju), karena
seorang wanita berhak memilih calon suami, sebagaimana lelaki memilih calon
istri, dan inilah yang terjadi pada kisah Barirah :
Dan kisahnya Barirah adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari : "Bahwa
'Aisyah Ummul Mu'minin Radhiyallahu 'anha membeli seorang budak bernama Barirah,
lalu 'Aisyah memerdekakannya. Barirah ini mempunyai suami bernama Mughis (dan ia
juga seorang budak). Maka tatkala dimerdekakan Barirah mempunyai hak untuk
memilih, apakah ia tetap berdampingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau
bercerai. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya.
Ternyata Barirah memilih untuk bercerai dengan suaminya.
Adapun suaminya, sungguh sangat mencintainya dengan kecintaan yang sangat.
Hingga tatkala Barirah memilih bercerai dengannya, ia berjalan-jalan di belakang
Barirah di kampung-kampung kota Madinah dalam keadaan menangis. Maka tatkala
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat keadaannya itu, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau Abbas : "Tidakkah
engkau heran terhadap kecintaan Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak
menyukai Mughis ?" Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada
Barirah : "Wahai Barirah, mengapa engkau tidak kembali kepada sumimu?"
sesungguhnya ia adalah suamimu dan ayah dari anak-anakmu!" Maka Barirah berkata
: "Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah atau hanya mengajurkan saja ?"
Allahu Akbar !! perhatikanlah wahai para pembaca pertanyaan Barirah ini !! Wahai
Rasulullah, apakah engkau memerintah ? Sehingga aku tidak berhak menyelisihi
perintahmu ? atau engkau hanya menganjurkan saja sehingga aku boleh berpendapat
dengan pikiranku? Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Aku hanya
mengajurkan saja !". Barirah berkata : "Aku tidak membutuhkan suamiku lagi !!"
Disini kami berkata : "Pertama kali Zainab binti Jahsiy menolak untuk menikah
dengan Zaid bin Haritsah, karena masalahnya hanyalah anjuran semata, maka
tatkala turun wahyu perkaranya berubah menjadi ketaatan atau maksiat.
Zainab binti Jahsiy berkata : "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
apakah engkau meridhai aku menikah dengannya ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menjawab : "Ya". Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan
RasulNya.
Dan juga terhadap Barirah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menawarkan agar ia kembali kepada suaminya, ayah dari anak-anaknya yang tidak
dapat bersabar untuk berpisah dengannya, Barirah meminta penjelasan : "Apakah
engkau menyuruhku wahai Rasulullah ?" Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku
kecuali harus mendengar dan taat ? Maka tatkala Rasulullah bersabda : "Aku hanya
menganjurkan" berkatalah Barirah : "Aku tidak membutuhkannya lagi".
Demikianlah adab para Sahabat terhadap Allah dan Rasulnya, serta beragama karena
Allah dan RasulNya dengan sikap mendengar dan taat, maka Allah menguasakan
kepada mereka dunia ini, dan masuklah manusia ditangan mereka kepada agama Allah
secara berbondong-bondong. Adapun kita, tatkala tidak beradab kepada Allah dan
RasulNya, kita bimbang dan menimbang-nimbang antara perintah dan
larangan-laranganNya (kita kerjakan atau tidak kita kerjakan), maka jadilah
keadaan kita ini sebagaimana yang kita saksikan saat ini, maka demi Allah,
kepadaNya-lah kalian mohon pertolongan, wahai kaum muslimin !
"Artinya : Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya
sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)"
[Az-Zumar : 54]
"Artinya : Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung" [An-Nuur : 31]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/ 2003 -
1424H, terbitan Ma'had Ali Al-Irsyad Surabaya]

selengkapnya......

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YAPI) :Pesanggrahan, Tegalgondo, Klaten, Jawa Tengah, Indonesia

Yayayasan Pendidikan Islam (YAPI) didirikan pada tanggal 21 Juni 1976 oleh AlMarhum H. Rosjidi Sholeh,Harun Ar rosjid, Irfan Suyudi Dll. Kemudian dilanjutkan oleh ustazd Zuhal Abdurrahman. Sebagai lembaga dakwah dan pendidikan, YAPI berkiprah dalam pengelolaan lahan-lahan pendidikan keagamaan yang bertujuan mencetak para santri yang diharapkan mampu menjadi cikal bakal bagi sumber daya manusia masa depan yang tangguh serta mampu menyikapi berbagai masalah secara arif.

Demi meraih tujuan-tujuannya, YAPI merasa berkewajiban menyediakan berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang dianggap perlu dan sesuai dengan lingkup kegiatannya. Kurikulum dan aktifitas Pesantren di rancang sesuai dengan kebutuhan para santri dalam membina dirinya menjadi pribadi muslim berkeyakinan lurus (benar) dan sadar akan kewajiban-kewajibannya, baik hubungan dengan Tuhan maupun antar sesamanya, serta memiliki kapasitas keilmuan yang memadai terutama ilmu-ilmu keislaman, sebagai dasar pijakan dalam menyikapi problema kehidupan secara proporsional. Sebagai lembaga pendidikan yang profesional, pada mulanya YAPI hanya mengacu pada pendidikan keagamaan murni, kemudian melangkah menjadi pendidikan terpadu. Pola pendidikan ini menyajikan program pensantren dan program umum dengan formulasi yang berimbang. Dengan demikian maka para santri akan lebih leluasa untuk menekuni disiplin ilmu yang mereka harapkan dengan tidak merasa khawatir akan kelanjutan pendidikan seusai mereka menyelesaikan studinya di YAPI.

selengkapnya......